Selasa, 25 Maret 2008

KOPERASI PERMATA ABADI

Koperasi Permata Abadi merupakan kelompok usaha anak-anak laki-laki dan perempuan putus sekolah yang telah dilatih melalui pendanan dari GVC Italia dan Persone Com Noi Italia

Koperasi Permata Abadi terdiri dari 3 unit usaha yaitu:
1. PERMATA ABADI TAILOR
2. PERMATA ABADI SABLON
3. PERMATA ABADI MEUBEL







PERMATA ABADI TAILOR
Telah menghasilkan berbagai produk dalam partai kecil dan besar yaitu: TAS, BAJU/CELANA, BAJU PENGANTIN, DOMPET, GORDEN, SPREY, SOUVENIR dan produk lain sesuai pesanan





PERMATA ABADI SABLON:
menerima berbagai jenis cetakan sablon seperti kartu nama, undangan, spanduk dan lain-lain



PERMATA ABADI MEUBEL:
Menerima tempah meja, kursi, lemari, rak TV, tempat tidur, meja hias dan berbagai furniture kebutuhan rumah tangga lainnya


Untuk pemesanan silahkan menghubungi:
PKPA ACEH
Jln. Bhakti No. 44 Neusu Aceh, Banda Aceh, ACEH-Indonesia
Tel./Fax. 0651. 28195

Atau
YOUTH CENTER PKPA
Desa Teureubeh, Kecamatan Kota Jantho, Aceh Besar, NAD, Indonesia
Tel/Fax. 0651. 92200

Akses Pendidikan dan Pekerja Anak di Propinsi NAD

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik

Pada awal pembicaraan mengenai kebijakan pekerja anak sering diasumsikan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan anak dianggap membahayakan. Namun tahun 1990 mulai muncul pemahaman, pekerjaan tertentu yang dilakukan anak dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan anak bagi masa depannya. Pekerjaan ringan setelah pulang sekolah, magang, pekerjaan di lahan milik keluarga atau pekerjaan lain yang tidak menghasilkan uang bagi anak tidak dikategorikan sebagai pekerja anak. Istilah pekerja anak diartikan sebagai pekerjaan yang menghalangi anak bersekolah dan pekerjaan yang membahyakan kesehatan, fisik dan mentalnya (Rogers & Swinnerton).

Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, permasalahan pekerja anak sesungguhnya merupakan persoalan yang serius, dilihat dari jumlahnya, lokasi kerjanya, bentuk pekerjaannya, cara kerjanya maupun akibat-akibat yang ditimbulkan dari mereka bekerja.
Berdasarkan data Dinas Sosial Propinsi NAD, tahun 2006 jumlah pekerja anak berusia 10-14 tahun mencapai 19.299 orang. Jumlah tersebut ditambah dengan 736 anak yang diidentifikasi sebagai anak jalanan dan 50.994 sebagai anak terlantar. Sementara data Badan Pusat Statistik NAD tahun 2005, dari 460,896 anak berusia 10-14 tahun 17,279 dikategorikan sebagai pekerja anak.

Penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Agustus-September 2006, di Kota Banda Aceh, periode Agustus-September 2006, diidentifikasi sebanyak 110 orang anak-anak yang bekerja di jalanan dengan berbagai jenis pekerjaan seperti pengemis, pemulung, penyemir sepatu dan pedagang asongan.

Sementara pada penelitian PKPA periode Oktober-Desember 2006 di tujuh kabupaten/kota di Provinsi NAD, ditemukan sekitar 1.000-1.500 anak-anak yang bekerja di sektor perikanan dan 500-750 diantaranya bekerja dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Diantara pekerjaan berbahaya yang dilakukan anak-anak adalah menyelam untuk menangkap lobster, gurita dan tripang, menembak ikan, bekerja di kapal-kapal pukat serta memancing ikan di laut dalam.

Di Kabupaten Simeulue, penelitian PKPA, Oktober-Desember 2006, ditemukan anak-anak yang bekerja baik secara langsung atau tidak langsung pada sektor rekontruksi seperti mengangkat pasir dan batu dari pantai ke lokasi pembangunan, mengangkat kayu dari gunung dengan upah Rp. 2.500,-/batang maupun sebagai buruh bangunan.

Pada penelitian PKPA bekerjasama dengan ILO-IPEC, UNICEF dan Dinas Sosial Propinsi NAD terhadap anak-anak korban konflik di 5 kabupaten di Propinsi NAD (Maret 2007) juga ditemukan adanya kecenderungan anak-anak korban konflik untuk bekerja, karena mereka putus sekolah atau akibat orang tua kurang mampu secara ekonomi. Bahkan anak-anak yang masih sekolah, ditemukan sudah memiliki persepsi tentang dunia kerja yang menghasilkan uang, baik sebagai cara untuk mencapai cita-cita maupun sebagai pilihan ketika mereka terpaksa putus.

Data-data berdasarkan penelitian di atas belumlah menggambarkan realitas jumlah pekerja anak yang sesungguhnya di Propinsi NAD. Diperkirakan masih banyak anak-anak lain yang bekerja baik pada jenis pekerjaan yang diperbolehkan maupun dalam bentuk pekerjaan yang berbahaya dan eksploitatatif, di sektor formal maupun informal.

Faktor Penyebab
Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di atas, ditemukan banyak faktor yang menyebabkan anak terpaksa bekerja.
Kemiskinan ditemukan sebagai salah satu penyebab utama (prime suspect). Bahkan dalam kasus anak-anak jalanan di Banda Aceh, kemiskinan telah menjadi subkultur. Kemiskinan pada awalnya dijadikan orang tua sebagai alasan untuk menyuruh/mengajak anak-anaknya bekerja menghasilkan uang, akan tetapi kemiskinan kemudian dijadikan kambing hitam untuk tetap mempekerjakan anaknya karena dengan kemiskinan yang dikondisikan mereka dapat memperoleh uang dengan cara mudah, dimana jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan bekerja sebagai petani di desa.

Kemiskinan memang masih menjadi persoalan umum. Berdasarkan data Dinas Sosial tahun 2006 masih terdapat 1.898.072 keluarga fakir miskin di Propinsi NAD. Hal ini secara langsung memiliki keterkaitan dengan jumlah pekerja anak. Bagi keluarga miskin, mempekerjakan anak seringkali dijadikan cara untuk menambah penghasilan. Dari lima penelitian yang dilakukan PKPA di NAD, bukan hanya orang tua menginginkan anaknya bekerja untuk menghasilkan uang, anak-anak itu sendiri ditemukan berkeinginan bekerja baik untuk membantu keluarga maupun untuk kebutuhan dirinya sendiri. Keinginan demikian, seringkali ditanggapi orang tua secara kontraproduktif, dengan harapan dapat meringankan beban orang tua.

Kemiskinan, pendidikan dan pekerja anak, dari lima penelitian tersebut, memiliki korelasi sangat kuat. Keterkaitan antara ketiganya seolah-olah sebagai sesuatu yang abadi. Pekerja anak bukan hanya sebagai produk kemiskinan namun sekaligus sebagai unit cost kemiskinan yang menyebabkan anak-anak putus sekolah. Menurut pakar ekonomi, dengan mengirimkan anak memasuki pasar kerja, keluarga miskin tampak tidak mengikuti tingkah laku ekonomi rasional. Mereka hanya memiliki sedikit alternatif. Pilihan antara mempertahankan hidup jangka pendek dan perkembangan anak jangka panjang sangat terbatas. Kemiskinan melahirkan pekerja anak dan mengabadikan kemiskinan, ketidakadilan dan diskriminasi. Dikaitkan dengan teori siklus kemiskinan (cycle of poverty) --dalam ilmu Ekonomi dan Sosiologi, istilah lingkaran kemiskinan merujuk kepada fenomena sosial dimana orang miskin menunjukkan kecenderungan tetap miskin sepanjang hidup bahkan mungkin sampai beberapa generasi.

Dalam satu dokumen ILO-IPEC (2004) disebutkan, kemiskinan akan menggiring pekerja anak ke suatu titik dimana mereka akan melahirkan generasi baru yang sama atau mungkin lebih miskin. Kemiskinan diwariskan dari satu generasi ke generasi dimana pekerja anak merupakan perantara aktif, menyebabkan lingkaran setan kemiskinan tetap lestari, sekaligus menyebabkan kemampuan nasional untuk memerangi kemiskinan secara keseluruhan terus menurun.

Faktor lain, berkaitan dengan tradisi yang banyak dianut masyarakat. Memberikan pekerjaan kepada anak dianggap bagian dari proses belajar untuk menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain melatih dan memperkenalkan kepada dunia kerja anak juga diharapkan dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga (PKPA: 2003). Banyak berpendapat: bagi anak yang telah akil baligh kalau bekerja dan memperoleh uang maka uang tersebut boleh digunakan membiayai ekonomi keluarga. Akan tetapi jika anak belum disunat, anak tidak perlu bekerja karena uang yang dia peroleh haram dimakan orang tuanya.

Dalam pandangan lain, mempekerjakan anak dinilai berfungsi ganda; selain mempersiapkan anak menghadapi kehidupan sesungguhnya, orang tua juga menerima manfaat secara finansial dari anaknya yang bekerja. Apalagi bagi banyak keluarga miskin, jumlah orang yang bekerja belum menjamin kebutuhan pokok keluarga dapat dipenuhi dari penghasilan seluruh orang yang bekerja.

Menyuruh atau mengajak anak bekerja sering dipandang sebagai bagian dari proses pendidikan atau pembentukan jiwa dan kepribadian anak, namun dalam praktiknya, sulit membedakan antara bekerja dalam rangka mendidik anak dan bekerja dimana anak dituntut untuk memberikan sumbangan ekonomi kepada keluarga. Antara pembinaan dan pembentukan jiwa dengan eksploitasi anak secara ekonomi sulit dibedakan. Oscar Lewis mengatakan tingkah laku dan kebudayaan kaum miskin berpengaruh terhadap kemiskinan mereka. Sekali kemiskinan menimpanya maka norma, tingkah laku dan kebudayan kemiskinan yang berkembang dalam kehidupannya akan mengekalkan kemiskinannya. Berbagai sifat dan perilaku dari subkultur kemiskinan seperti malas, apatis, kurang kreatif, kurang mandiri dan lain-lain menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Mereka kurang memiliki kemampuan dan kesempatan meningkatkan taraf kehidupannya.

Pesimis terhadap pendidikan juga ditemukan sebagai penyebab orang tua tidak menyekolahkan anaknya, selanjutnya menyuruh bekerja. Di beberapa desa ditemukan, pendidikan tidak memiliki daya tarik baik bagi anak maupun bagi orang tua, yang dilihat dari proses pendidikan (tidak menyenangkan bagi anak) serta outputnya, yaitu tidak ada perbedaan pekerjaan antara anak yang tidak tamat SD dengan anak tamatan SMA.

Dampak bekerja pada anak
Gootear dan Kanbur (1994) menyatakan secara empirik banyak bukti menunjukkan keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi, di sektor formal maupun informal terlalu dini cenderung rawan eksploitasi, terkadang berbahaya dan mengganggu perkembangan fisik, psikologis dan sosial anak.

Sarjono Herry Warsono mengatakan, bekerja di usia dini dapat merusak pertumbuhan fisik dan
mental karena mengalami siksaan, dikucilkan atau diperlakukan buruk serta tidak ada waktu atau terlalu lelah untuk belajar dan sekolah. Sementara bagi perekonomian negara, kehadiran pekerja anak dapat mengakibatkan kemiskinan, tenaga kerja tidak trampil dan berpendidikan rendah. Anak-anak akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang kurang sehat, kurang dapat bersosialisasi dan secara emosional terganggu.

Meningkatnya jumlah pekerja anak akan memicu hambatan dinamika proses pembangunan SDM di masa depan. Dampaknya sangat besar, utamanya social cost yang diderita pekerja anak dan hilangnya kesempatan untuk memasuki dunia sekolah. Pertambahan jumlah pekerja anak berpengaruh terhadap pasar tenaga kerja, yaitu akan mengurangi kesempatan kerja orang dewasa karena produktifitas pekerja anak ternyata tidak jauh berbeda dengan pekerja dewasa.

Ketentuan mengenai pekerja anak
Konvensi Hak-hak Anak pasal 32 menyatakan: negara-negara peserta mengakui hak anak untuk dilindungi terhadap eksploitasi ekonomi dan terhadap pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan atau merugikan kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak.

Konvensi ILO No. 138 menyatakan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja untuk setiap jenis pekerjaan atau kerja, yang karena sifatnya atau keadaan lingkungan dimana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun.

Sementara Konvensi ILO No. 182 mengkategorikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yaitu: (a) segala bentuk perbudakan atau praktek jenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan penghambat (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata, (b) pamanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno, (c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan dan (d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat dimana pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.

Dalam Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (pasal 68-69) dinyatakan, pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Ketentuan ini dikecualikan bagi anak berumur antara 13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial serta memenuhi persyaratan yaitu izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas dan anak menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku

Meningkatkan akses pendidikan bagi anak
Dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 217 dinyatakan: “penduduk Aceh yang berusia 07-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, menyediakan pendidikan layanan khusus bagi penduduk yang berada di daerah terpencil atau terbelakang, memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial, serta yang memiliki potensi keceradasan dan bakat istimewa.

Kemiskinan seringkali menempatkan pandangan orang tua pada bagaimana anak mampu berkontribusi bagi keluarga, dengan cara menyumbangkan tenaga atau hasil pekerjaannya kepada keluarga maupun ketika si anak tidak meminta uang kepada orang tua. Dengan pola pikir dan cara pandang seperti ini, proses penyadaran akan hak-hak anak terutama hak anak atas pendidikan, bahaya mempekerjakan anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan usia minimal anak diperbolehkan bekerja dengan mengaitkan kepada lingkaran kemiskinan dinilai penting untuk dilakukan, agar orang tua dan anak-anak itu sendiri memahami putus sekolah dan mempekerjakan anak di usia dini sebagai pilihan tidak bijak, karena akan melanggengkan lingkar kemiskinan suatu keluarga.

Pada masyarakat dimana pendidikan tidak memiliki daya tarik bagi anak maupun orang tua, yang dilihat dari proses pendidikan (tidak menyenangkan bagi anak) serta outputnya, yaitu tidak ada perbedaan pekerjaan antara anak yang tidak tamat SD dengan anak tamatan SMA, maka upaya mencegah anak agar tidak putus sekolah atau mengembalikan anak yang telah putus sekolah untuk kembali bersekolah, harus disertai usaha untuk menempatkan lembaga pendidikan dari sekedar sebagai penyelenggara belajar bersifat rutin menjadi lembaga pembelajaran yang menyenangkan bagi anak dan sebagai milik masyarakat.

Sebagai lembaga pembelajaran, sekolah semestinya mengakomodir berbagai kebutuhan pembelajaran anak. Kemiskinan, keterisoliran, adanya anak-anak yang telah putus sekolah dan bekerja, rendahnya dukungan dan partisipasi orang tua, diantara beberapa permasalahan aktual yang seharusnya ditempatkan sebagai keberagaman kebutuhan anak terhadap materi dan metode pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah formal dan non formal. Keberagaman ini diyakini tidak akan terakomodir dalam kelas dan guru reguler, sehingga upaya-upaya meningkatkan kualitas dan keterampilan guru terhadap proses pembelajaran inklusif yang menyenangkan dan berdasarkan kebutuhan anak sangat diperlukan.

Pada tataran lain, ditemukan ada pemisahan peran orang tua dan sekolah dalam pendidikan anak. Orang tua beranggapan, kepergian anak dari rumah dengan pakaian seragam dan uang jajan maka tugasnya menyekolahkan anak telah selesai. Pada pihak lain, sekolah menganggap tugas mereka dimulai ketika si anak menginjakkan kaki di lingkungan sekolah. Anak yang berangkat dari rumah namun tidak sampai ke sekolah tidak jelas siapa yang bertanggungjawab.
Lalu jika output pembelajaran tidak tercapai, orang tua menyalahkan guru; tidak becus mengajar, sementara guru menyalahkan orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anak. Jurang pemisah antara masyarakat dengan lembaga pendidikan seperti ini jelas merugikan anak. Maksimalisasi peran komite sekolah dan rasa kepemilikian masyarakat terhadap sekolah harus ditingkatkan. Harus diciptakan lingkungan desa dan lingkungan sekolah yang mendukung proses pembelajaran anak.

Bagi anak yang tidak mau mengikuti pendidikan formal atau tidak tersedia pendidikan formal di desa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah (paket A, B dan C) didukung kegiatan pravocational training sesuai potensi desa perlu dipertimbangkan untuk dilakukan Pendidikan hendaknya diorientasikan kepada kecakapan hidup yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan kepada pencapaian gelar akademis.


Penulis Manager Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh


Sulaiman Zuhdi Manik
Jl. Bhakti No. 44 Neusu Aceh, Banda Aceh
Tel/Fax. 0651. 28195
e-mail: spkpa@yahoo.com

KETERLIBATAN ANAK DALAM PENANAMAN DAN PERDAGANGAN GANJA DI ACEH

Oleh : Sulaiman Zuhdi Manik

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh, Mei-Juni 2007, atas dukungan ILO-IPEC melaksanakan Rapid Asessment Keterlibatan Anak dalam Penanaman dan Perdagangan Ganja di Kabupaten Aceh Besar, Aceh.Total sebanyak 90 anak (60 ll dan 30 perempuan), 50 orang tua anak (30 laki-laki dan 20 orang perempuan) dan 30 orang pemangku kepentingan menjadi subjek dan informan dalam penelitian ini melalui wawancara maupun FGD.

Penelitian ini menemukan, ganja pertama kali dibawa ke Aceh dari India, ketika Belanda membuka perkebunan kopi di daerah Gayo (Aceh Tengah) tahun 1904. Saat itu, Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh dengan ibu kota Sigli (Pidie). Tanaman ganja digunakan sebagai anti hama bagi tanaman kopi.

Di lokasi penelitian, ganja mulai ditanam penduduk antara 5-7 tahun yang lalu. Keterlibatan masyarakat menanam ganja terkait dengan kemiskinan, kemiskinan juga dipengaruhi faktor keterisoliran dan keterbelakangan pendidikan penduduk. Dari 90 orang anak yang diwawancarai di dua desa lokasi penelitian, 65 orang menyatakan tidak sekolah, hanya 25 orang yang masih sekolah.

Berbagai alasan dikemukakan dalam fokus group diskusi (FGD) maupun wawancara, seperti karena sekolah jauh, disuruh orang tua bekerja, keinginan anak itu sendiri, maupun akibat ajakan teman, dan di desa lain, faktor anak tidak sekolah karena di desa tersebut tidak tersedia lembaga pendidikan formal. Di salah satu desa, jumlah uang jajan anak sekolah, menjadi persoalan. Terdapat tarif jajan anak sekolah dan ini diamati sudah menjadi tradisi. Seorang ibu mengatakan, keluarga yang mayoritas bertani sulit memenuhi jajan anak. Seorang anak SD harus diberikan uang jajan ke sekolah antara Rp. 1.000-5.000.Anak SMP antara Rp. 3.000-10.000,- Anak SMA antara Rp. 5.000-10.000. Jumlah jajan tersebut bagi umumnya anak menjadi persyaratan agar mau ke sekolah. Jika orang tua tidak memberikan jajan, anak tidak akan ke sekolah.

Orang tua menyadari anaknya ada tidak sampai ke sekolah, mereka hanya pergi dari rumah. Menurut seorang informan, hal ini disebabkan, orang tua sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak dapat mengontrol anak.Orang tua pergi ke ladang pagi hari dan kembali sore atau malam. Walaupun sudah diberikan jajan tapi ada anak yang tidak sampai ke sekolah, mereka justru ke warung. Faktor lain yang ditemukan, kuatnya pengaruh teman sebaya, berdasarkan wawancara dengan anak hal ini berkaitan dengan sekolah atau guru yang cenderung tidak mereka sukai.Di kedua desa anak yang bekerja pada orang lain mendapat upah Rp. 20-50 ribu/hari, tergantung pekerjaannya. Anak-anak yang membantu orang tua tetap mendapat upah Rp. 20 ribu/hari.

Mereka diajak bekerja karena tidak mau sekolah, agar tidak meminta uang jajan kepada orang tua.Di dua desa lokasi penelitian terlibat dalam penanaman dan perdagangan ganja. Anak mempunyai kesempatan yang sama dengan orang dewasa untuk melakukan setiap kegiatan mulai penanaman, perawatan, panen, pengeringan, pembungkusan sampai perdagangan.Dari 90 anak yang diwawancarai, 64 orang (53 laki-laki dan 11 perempuan) mengaku saat ini terlibat dalam penanaman (17 orang ikut memperdagangkan), sisanya 26 anak, mengaku tidak terlibat (tujuh laki-laki dan 19 perempuan) namun mereka mengetahui orang tuanya memiliki ladang.

Dari 64 orang yang terlibat, 54 orang mengatakan bekerja bersama orang tua/keluarga, tujuh orang memiliki ladang sendiri dan tiga orang mengelola bersama teman.Sebanyak 57 dari 64 orang anak yang saat ini terlibat mena nam ganja menyatakan, orang tua mereka tidak melarang atau bahkan mengajak mereka, tujuh anak lain mengatakan orang tuanya bersikap diam, yang dipahami anak sebagai sikap memperbolehkan

Kategori keterlibatan anak dapat dibagi menjadi: (a) anak yang bekerja membantu orang tua/keluarga (mengelola kebun keluarga), dengan mendapat upah harian atau tidak (adakalanya orang tua memberikan setelah hasil panen dijual). (b) anak yang bekerja di kebun orang lain dengan mendapat upah harian. (c) bekerja sendiri (mengolah kebun sendiri), hasilnya sebahagian kecil diserahkan kepada keluarga dan bekerja bersama teman, hasil dibagi rata, dari hasil pembagian ini ada diberikan kepada keluarga.

Faktor pendorong dan penarik keterlibatan anak diantaranya:
1. Kebiasaan masyarakat: di kedua desa, ganja dianggap sudah biasa ditanam dan dijual
2. Putus sekolah: kemiskinan berkorelasi terhadap anak putus sekolah, akibat tidak sekolah mendorong anak ikut bekerja dengan orang tua atau di ladang orang lain
3. Ingin membantu orang tua: karena tidak sekolah orang tua meminta anak membantu orang tua bekerja di lahan sendiri atau lahan orang lain.
4. Ada pekerjaan: diminta orang lain membantu bekerja dengan upah Rp. 20-50 ribu/hari
5. Ingin mendapatkan uang: anak ingin memiliki uang dari hasil kerjanya, dengan bekerja bersama orang tua, mencari upahan di ladang orang lain, menanam ganja sendiri atau bersama teman.
6. Teman: anak yang telah bekerja menanam dan memiliki uang sendiri menjadi penarik maupun pendorong bagi anak yang lain untuk terlibat

Keterlibatan anak-anak dalam penanaman dan perdagngan ganja berdampak kurangnya minat bersekolah karena telah menghasilkan uang. Selain itu, alasan berhenti sekolah juga karena mereka ingin membantu orang tua atau memiliki uang sendiri.Dengan alasan seperti ini keterlibatan anak, selain menjadi faktor menyebab sekaligus menjadi tujuan. Karena bekerja mereka menjadi putus sekolah dan karena putus sekolah mereka lalu bekerja, menghasilkan uang untuk membantu keluarga atau untuk diri sendiri.

Bagi anak-anak di lokasi penelitian, ganja dianggap sudah biasa. Beberapa anak mengatakan ganja tidak haram karena tidak ada najisnya. "Kecuali kalau sudah mengakibatkan mabuk baru berdosa." Bagi mereka menghisap ganja sama dengan menghisap rokok.Larangan menghisap ganja sama dengan larangan merokok, hingga jika seorang anak sudah tidak dilarang orang tuanya merokok berarti dia sudah dapat menghisap ganja.


PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA) ACEH

Gepeng di Banda Aceh:

Gepeng di Banda Aceh: Ada Gula Ada Semut
Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik

Berdasarkan penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh-Dinas Sosial NAD-ILO dan YAB Aceh (2006), di Banda Aceh dan sekitarnya kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan merupakan jumlah terbanyak (55 %), disusul anak yang bekerja di jalanan (32 %) dan anak jalanan yang hidup di jalan (14 %). Mereka umumnya bukan penduduk Banda Aceh, hanya 26 % berasal dari Banda Aceh, sisanya 74 % dari kabupaten/kota lain di NAD, seperti Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur maupun dari Aceh Selatan.

Terdapat beberapa praktek keterlibatan anak bekerja, berakibat anak putus sekolah atau sekolah tidak teratur (1) orang tua mengajak anak ikut bekerja di jalanan lalu anak ada berhenti sekolah saat itu juga atau beberapa waktu kemudian (2) orang tua menyuruh anak berhenti sekolah dan bekerja di jalanan dan (3) anak dalam level pemikiran dan keputusannya merasa bertanggungjawab terhadap keluarga sehingga pergi dari kampung dan bekerja di jalanan di Banda Aceh, uang yang diperoleh seluruhnya diserahkan kepada orang tua. Pada kasus seperti ini, anak masih sekolah, mereka permisi kepada guru beberapa hari atau minggu untuk tidak masuk sekolah

Sub kultur kemiskinan
Dari 110 anak yang diwawancarai dalam penelitian tersebut, sebanyak 91 orang pengemis dan peminta sumbangan. Kemiskinan disebutkan sebagai alasan utama orang tua dan anak-anak mengemis. Mengemis bahkan telah dianggap sebagai cara paling mudah dan paling menjanjikan dalam mencari nafkah.

Hasil observasi dan analisis jawaban responden, kemiskinan menjadi alasan turun ke jalanan. Pada kenyataannya kemiskinan mereka sesungguhnya dipelihara. Terdapat upaya-upaya untuk memposisikan diri dan keluarganya untuk tetap miskin. Ditemukan proses mengkambinghitamkan (scapegoat) kemiskinan, karena dengan kemiskinan demikian mereka tetap merasa layak untuk mengemis. Karena hanya dengan tampilan kemiskinan seperti itulah orang lain akan marasa iba dan terketuk hatinya untuk bersedekah, membantu sesama yang fakir-miskin.

Pada awalnya, ada mengemis karena di kampung tidak ada pekerjaan atau akibat suasana di kampung tidak aman pada saat itu. Namun pasca konflik dan ketika berbagai bantuan telah diberikan pemerintah dan NGO, mereka tetap berada di jalanan dan mengikutsertakan anak-anaknya. Bahkan anak-anak masih bayi dijadikan tameng untuk menyentuh rasa belas kasihan orang lain, karena tanpa bayi tersebut, mereka merasa dirinya tidak cukup untuk menghiba belas kasihan orang lain. Bayi-bayi itu bahkan ada disewakan.

Sesekali, lihatlah kehidupan mereka di losmen atau kamar kost. Ada orang tua si anak tidur-tiduran atau menonton televisi/VCD di kamar, anak-anaknya mengemis di jalanan. Juga menjadi tidak langka ketika anak-anak dan pengemis memiliki handphone yang dibeli dari hasil mengemis.

Kemiskinan dalam banyak kasus yang ditemukan bukan kemiskinan dimana mereka berusaha untuk keluar, justru banyak kasus, orang tua memperkuat tali ikatan lingkar setan (vicious circle) kemiskinan pada anaknya. Perilaku ini kemudian memperpanjang siklus kemiskinan (poverty culture) sebab nyatanya orang tua tidak terlalu khawatir kalau anak-anaknya tidak sekolah.

Proses transfer pemiskinan ini mempengaruhi persepsi anak tentang diri dan keluarganya. Terjadi proses marjinalisasi pasif oleh orang tua sehingga anak “menikmati” lembar demi lembar uang ribuan yang diperoleh dari mengemis. Dalam fokus group diskusi dengan anak-anak, mereka kurang responsif ketika diminta mengekspresikan diri, masa depan dan perasaan sebagai anak. Beberapa anak bahkan mengaktualisaikan diri dalam peran sentral keluarga. Mereka merasa bertanggungjawab mencari nafkah keluarga. Orang tuapun demikian, ada berkata: “Long dari Pantonlabu (Aceh Utara) jak sětet aneuk mita raseuki, ken long hana keureuja, tapi pe pastě aneuk keurija, lako long kakeuneung tsunami. Si aneuk menyo tatham diplung le u Sigli, di tinggai pat nyang galak bak ngen jih”.

Hal ini relevan dengan jawaban 50 % anak bahwa orang tua dan keluarga sebagai orang pertama kali membawa ke jalanan. Mereka berangkat dari Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie dan dari Aceh Selatan. Anak-anak dibawa orang tua atau neneknya ke Banda Aceh untuk mengemis atau meminta sumbangan. 11 % lainnya mengatakan dibawa pertama kali oleh saudara kandung. Tampak jelas dominasi orang tua/keluarga terhadap anak yang dipersepsikan sebagai asset secara ekonomi akibat berbagai “kelemahan” anak seperti menurut, tidak malu, patuh maupun tidak berbohong. Orang tua melihat ada nilai jual tersendiri pada diri anak, yang dapat menarik perhatian dan rasa iba orang lain, karena iba atau kasihan justru menjadi alasan seseorang memberi.

Dilihat dari latar belakang daerah asal anak, 74 % dari luar Kota Banda Aceh. Daerah yang umumnya pertanian. Namun subkultur kemiskinan yang mereka pelihara menyebabkan mereka telah kehilangan cara hidup di desa (Weinberg: 1965). Mereka adalah masyarakat pedesaan dengan latar belakang petani atau nelayan, namun mereka tidak lagi memiliki sensifitas untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di desa.

Disatu sisi mereka masyarakat pedesaan, namun tidak melihat desa sebagai tempat mencari nafkah, kota dianggap sebagai tempat mudah mencari uang. Copes (1986) menggambarkan pergerakan seperti ini bersifat tidak dapat balik, jika mereka keluar dari desa untuk mencari nafkah di kota ia telah “membakar jembatannya” (burn his own bridge), sangat sulit baginya untuk kembali menjadi petani.

Kemiskinan keluarga anak-anak tersebut lebih condong dilihat dari konteks sosio-kultural, disamping kemiskinan struktural. Sebagai subkultur, keadaan yang mereka hadapi memang merupakan bagian dari kultur kehidupan mereka dan mereka merasa berhak hidup dalam kondisi seperti itu. Oscar Lewis (1966) mengatakan: tingkah laku dan kebudayaan masyarakat miskin turut berpengaruh terhadap kemiskinannya. Sekali kemiskinan menima mereka maka norma, tingkah laku dan kebudayan kemiskinan yang berkembang dalam kehidupannya akan mengekalkan keadaan kemiskinannya. Berbagai sifat-sifat dan perilaku dari subkultur kemiskinan seperti malas, apatis, kurang kreatif, kurang mandiri, dan lain-lain menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.

Ada Gula
Saya mengatakan, mengemis bukanlah upaya mereka untuk bertahan hidup, tapi banyak diantara mereka justru menjadikan mengemis sebagai kebiasaan hidup. Kemiskinan dijadikan kambing hitam, karena ketagihan, keenakan atau kemalasan sudah lebih dominan. Mereka “menikmati” kemiskinan, tetap menjual kemiskinan dan itu pula dianggap sebagai cara memperoleh uang dengan mudah. Ini merupakan alasan pembenaran yang dicari-cari, karena tidak semua orang miskin menjadi pengemis. Observasi peneliti di desa asal anak, seperti di Aceh Utara, Aceh Besar dan Banda Aceh ada keluarga yang jauh lebih miskin namun mereka tidak mengemis.


Subkultur ini, secara eksternal juga dilanggengkan oleh masyarakat. Penghasilan anak-anak dari mengemis dan meminta sumbangan misalnya, rata-rata di atas Rp. 50 ribu, bahkan ada anak mengaku Rp. 100-150 ribu sehari terutama pada Jum’at, Sabtu dan Minggu dan pada hari-hari besar keagamaan jumlah pendapatan meningkat sampai 200 persen. Hal ini dimaknai sebagai salah satu peran serta masyarakat mematrikan anak-anak tetap dalam subkultur kemiskinan dan jalanan.

Ada “gula” di Aceh sebagai faktor menyebabkan banyak pengemis di jalanan. Karena kebaikan hati kita memberikan uang, dengan alasan kasihan, membantu sesama dan alasan lain, namun hal tersebut justru meningkatkan jumlah pengemis. Kebaikan ini, diantaranya dapat bersumber dari pemahaman keliru tentang tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah atau pemaknaan menolong terhadap orang yang susah. Dalam konteks ini kita memberikan untuk menjerumuskan, karena dengan pemberian tersebut anak-anak terbiasa mengemis dan pada akhirnya malas.

Homogenitas anak jalanan serta masyarakat dari aspek suku dan agama salah satu sumber banyaknya “gula” sebagai faktor penarik. Kuatnya kebersamaan yang dilandasi faktor keagamaan dan kebudayaan dalam masyarakat sangat mempengaruhi cara berfikir dan bersikap terhadap anak-anak tersebut, anak-anak yang berasal dari rakyat biasa yang sering disebut ureung le.

Sepanjang observasi peneliti pada level participating observer ditemukan adanya faktor agama, budaya dan kebudayaan (termasuk pengaruh konflik secara psikologis) yang mempengaruhi terus berlangsungnya pengemis. Anak mengkomunikasikan secara verbal keadaan dan kebutuhannya, misalnya anak yatim, untuk biaya sekolah dan dengan bahasa menggugah hati, demikian juga tampilan pakaian lusuh serta atribut-atribut lain, sehingga menyentuh sisi kemanusiaan maupun emosional seseorang untuk memberi atau kalaupun tidak memberi, menolak dengan kata-kata atau isyarat yang tidak menyakitkan bagi anak.

Keputusan untuk memberi atau tidak, sepanjang yang diamati, dominan ditentukan oleh respon, image, persepsi atau mood seseorang maupun bergantung situasi saat itu, dimana berada atau bersama siapa. Seseorang ada kalanya memberi agar dianggap pahlawan atau penyelamat, ketika dia memperoleh keberuntungan dan berbagai keputusan/perilaku situasional. Faktor sensitifitas agama, budaya dan kebudayaan berkontribusi baik sebagai latar belakang maupun tujuan. Sehingga ketika dipertanyakan: apakah seseorang menyadari ketika memberi dia sedang melakukan “tidak mendidik anak” atau saat tidak memberi, dia “sedang mendidik anak” jawabannya berbeda-beda.

Kita akan Tetap Menaburkan Gula?
Pemerintah dan NGO telah melakukan berbagai langkah kampanye dan penanggulangan. Dinas Sosial maupun instansi lain, termasuk NGO telah memberikan bantuan langsung, pelatihan dan berbagai pendampingan dan pendidikan. Namun, selama gula tetap ditabur di jalanan masalah ini tidak akan dapat ditanggulangi, karena ketika mengemis sudah menjadi sub kultur dan ketika mereka telah kehilangan kreatifitas serta telah membakar jembatannya, maka mengemis tetap dianggap sebagai pekerjaan menguntungkan. Baru-baru ini PKPA, Dinas Sosial Aceh dan beberapa lembaga lain atas dukungan ILO-IPEC telah melakukan seruan bersama kepada masyarakat agar tidak menjadikan mereka tetap dengan budaya kemiskinannya.

Diperlukan dukungan dan perhatian dari seluruh masyarakat untuk tidak melanggengkan mereka sebagai pengemis. Dalam seruan bersama yang disampaikan, jika kita ingin menyumbang dan beramal, salurkanlah melalui lembaga-lembaga seperti baitul mal, pesantren, panti asuhan, lembaga pendidikan, atau mari kita jadikan mereka sebagai anak angkat dengan cara mengasuh dan menyekolahkannya. Selama masyarakat tetap memberikan maka selama itu pulalah pengemis akan tetap menjamur di Aceh.

Sebelum tsunami, Dinas Sosial NAD melalui panti telah membimbing dan mendidik anak-anak tersebut, namun apa yang terjadi, banyak orang tua justru tidak rela anaknya dibina, dilatih dan disekolahkan, karena orang tua merasa kehilangan pendapatan, sebab anak-anak tersebutlah sesungguhnya alat mereka untuk mengemis. Mereka banyak yang sehat jasmani dan rohani. Satu kasus bahkan tidak mau diobati (dioperasi) karena jika penyakitnya itu sembuh, dia merasa tidak layak jual lagi. Orang tidak akan kasihan lagi. Juga ibu-ibu tersebut, tanpa ada bayi atau anak-anak, mereka akan sulit memperoleh belas kasihan orang lain.

Banyak masyarakat mengeluhkan pemerintah dan NGO. Saya sependapat keluarga-keluarga tersebut harus diberikan bantuan modal usaha, keterampilan dan pendampingan pengembangan usaha yang kontiniu. Anak-anak itupun harus pula bersekolah, karena pada usia seperti itu, mereka tidak berkewajiban untuk mencari nafkah. Hak mereka adalah untuk memperoleh pendidikan, bimbingan dan pengasuhan layak. Namun, masyarakatpun harus sepakat, memberikan uang di jalanan bukanlah cara yang terbaik dalam membantu sesama, dalam bersedekah atau agar dikatakan pemurah.

Penulis Manager Program Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh





FORUM ANAK KABUPATEN ACEH BESAR




FORUM ANAK KABUPATEN ACEH BESAR

Sebanyak 48 anak perwakilan dari 23 kecamatan se-Kabupaten Aceh Besar mengikuti Workshop Pembentukan dan Pengesahan Forum Anak yang dilaksanakan di Wisma BBI (Balai Benih Ikan) Kota Jantho dimulai pada 21-23 November 2007. Kegiatan ini melibatkan lembaga pendamping yang terdiri dari Kantor Sosial Kabupaten Aceh Besar, PKPA Aceh dan COTE, kegiatan ini sendiri didukung penuh oleh UNICEF dan Pemda Aceh Besar.

Workshop ini bertujuan untuk menemukan kesepakatan dan merumuskan rencana yang terbaik bagi anak dengan harapan anak-anak yang menjadi perwakilan dari 23 kecamatan ini dapat menyuarakan dan mengekspresikan ide-ide, sehingga permasalahan anak dapat diminimalisir. Workshop ini juga nantinya menjadi jembatan terbentuknya Forum Anak Kabupaten Aceh Besar yang langsung di bawah koordinasi Pemerintah Daerah Aceh Besar.

Menurut Ketua Panitia Bersama, Saifulah Arka dalam laporannya menyatakan, melalui rangkaian proses ini anak-anak dapat mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai hak anak dan isu-isu anak yang ada di daerahnya masing-masing, secara lebih luas anak juga dapat memainkan perannya untuk terlibat langsung membentuk Forum Anak di Kabupaten Aceh Besar, meningkatkan pengetahuan hak-hak anak baik di lingkungan keluarga dan sekitarnya sekaligus menjadi wadah anak untuk berkiprah menyalurkan potensi dan keilmuannya.

Disahkan Bupati Aceh Besar

Pengesahan Forum Anak Kabupaten Aceh Besar dilakukan langsung oleh Bupati Aceh Besar, Dr. Tgk. Bukhari Daud M.Ed, bertempat di aula Kantor Bupati Aceh Besar yang dihadiri beberapa dinas terkait Ketua PKK Aceh Besar, Perwakilan UNICEF, Camat Kota Jantho, Kapolsek, Danramil, Kepala Sekolah, Ketua LPA Provinsi dan Manager PKPA Aceh.

Unicef yang diwakili bidang Child Protection, Zubaedi Koteng dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas dukungan Pemda Aceh Besar yang telah mendukung terbentuknya Forum Anak tersebut yang telah didengungkan oleh anak-anak sejak setahun lalu. Unicef sendiri berkomitmen akan mengawal proses untuk mewujudkan partisipasi anak dengan memfasilitasi forum anak di 14 Kabupaten/Kota di wilayah NAD dan menindaklanjuti keberadaan forum anak agar anak dapat memberikan inputnya mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk kepentingan terbaik bagi anak.

Bupati Aceh Besar, Bukhari Daud mengungkapkan kebahagiaannya atas terbentuknya Forum Anak Kabupaten Aceh Besar. Beliau menekankan kepada lembaga pendamping untuk tetap melibatkan anak-anak dalam kegiatannya terutama dalam bidang advokasi dan informasi yang bersifat kampanye.

Beliau juga menekankan tiga hal bagi Forum Anak Kabupaten Aceh Besar yakni: satu, melibatkan diri dalam kegiatan hidup sehat dengan melaksanakan program kebersihan baik di lingkungan sekitar maupun di sekolah. Kedua, melestarikan lingkungan sekitar dengan melakukan penanaman pohon di public space secara sukarela. Bibit sendiri dapat disediakan Dinas Kehutanan. Ketiga, memperkuat ukhuwah sesama anak dengan mengadakan kunjungan ke setiap daerah dimana perwakilan anak berada, selain sebagai perekat ukhuwah. Anak juga akan mengenali setiap daerah dan potensi daerah masing-masing.

Dalam pembentukan Forum Anak Kabupaten Aceh Besar, sebelumnya dilakukan beberapa rangkaian kegiatan antara lain; membentuk panitia bersama yang terdiri dari PKPA, Kankesos, CC Jantho dan COTE, melakukan mapping dan identifikasi anak dari setiap kecamatan dan lembaga pendamping, Pelatihan Fasilitator Anak di setiap kecamatan di Aceh Besar, penyusunan silabus FGD (Focus Grup Discussion) dan prakteknya untuk mendiskusikan permasalahan anak, pelaksanaan workshop pembentukan dan pengesahan forum anak Kabupaten Aceh Besar dan nantinya akan dipilih duta anak untuk mewakili Kabupaten ke tingkat Provinsi.

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) ACEH

KOMITE AKSI PBTPA ACEH BESAR

KABUPATEN ACEH BESAR BENTUK KOMITE AKSI KABUPATEN
PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK ANAK


Di Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berbagai persoalan pekerja anak sesungguhnya tidak lagi dianggap sebagai persoalan the left-over, yang baru dipikirkan setelah yang lain-lain beres. Persoalan pekerja anak merupakan masalah substansional, terutama jika dikaitkan dengan isu kemiskinan dan subkultur kemiskinan. Demikian disampaikan Bupati Aceh Besar, diwakili Asisten II, Drs. H. Zulkifli, HS, MM, pada pembukaan Workshop Pembentukan Komite Aksi Kabupaten untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak di Kabupaten Aceh Besar, Rabu, 12 November 2007 di Kota Jantho, Aceh Besar.


Workshop yang dilaksanakan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja Aceh Besar ini diikuti 30 orang peserta mewakili unsur pemerintah, swasta, ormas, LSM, KPA, lembaga pendidikan dan tokoh masyarakat berlangsung dari tanggal 12-14 Desember 2007.


Menurut Bupati, dalam penanganan pekerja anak tidak cukup melalui suatu departemen semata. Masalah ini perlu penanganan yang integratif, baik dengan memberikan pendidikan yang berkualitas dan skills training yang dibutuhkan pasar, peningkatan ekonomi orang tua, peningkatan akses ke pendidikan dasar dan lanjutan dan perbaikan kebijakan di tingkat kabupaten dan propinsi.


Pendidikan gratis saja tidak cukup untuk mencegah anak bekerja, mengingat banyak anak-anak yang memiliki kemampuan khusus membutuhkan pendidikan yang sesuai dan kemampuan mereka.Atas dasar tersebut pembentukan Komite Aksi Kabupaten (KAK) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (PBTPA) di Aceh Besar dipandang sangat penting dilaksanakan.


Selain itu, menurut Bupati, Kabupaten Aceh Besar juga akan dikembangkan menjadi Kota Ramah Anak sehingga penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menjadi sangat penting. Berbagai langkah dan program sedang dan akan dikembangkan dalam mewujudkan Aceh Besar sebagai kota ramah anak. Saat ini sedang dibangun di Kota Jantho Taman Bermain Anak. Juga telah dibentuk Forum Anak Kabupaten dan program-program lain, ujar Bupati.


Sulaiman Zuhdi Manik, Manager Program PKPA Aceh sekaligus fasilitator workshop ini mengatakan, Komite Aksi Kabupaten (KAK) Pencegahan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak (PBTPA) diharapkan dapat mengembangkan rencana aksi kabupaten untuk pencegahan dan penghapusan pekerja anak dalam jangka pendek dan panjang yang lebih implementatif. Komite ini akan didukung oleh dinas-dinas dalam pemerintah Aceh Besar, serikat pekerja/buruh, universitas, organisasi sipil masyarakat, guru, polisi pemimpin-pemimpin di masyarakat, media dan lembaga-lembaga lain.

Dari workshop ini, kata Sulaiman, akan dihasilkan visi, misi, strategi, struktur dan analisa situasi dan mekanisme pemilihan anggota Komite Aksi Kabupaten Penghapusan Pekerjaan Terburuk Anak di Aceh Besar. Kemudian pemilihan panitia kerja (dari peserta workshop) untuk mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan anggota Komite Aksi Kabupaten PBTPA serta penyusunan rencana aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak dalam jangka pendek dan jangka panjang di Aceh Besar

PROFIL BAHASA INDONESIA

PROFIL
PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA) ACEH
Center for Study and Child Protection



A. Latar Belakang
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh merupakan perwakilan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di Medan dalam melaksanakan berbagai program perlindungan anak di Nanggroe Aceh Darussalam. Kehadiran PKPA di Aceh tidak terlepas dari musibah gempa bumi dan tsunami, 26 Desember 2004, dengan berbagai aktifitas respon emergency dibidang perlindungan anak. Dalam perkembangannya, PKPA berkeyakinan masih banyak aspek yang perlu dilakukan dalam meningkatkan harkat dan martabat anak-anak di Aceh.

PKPA menyadari, anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya. Sebagai pemilik masa depan, anak semaksimal mungkin harus dijamin untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Anak memiliki hak azasi manusia yang diakui bangsa-bangsa di dunia dan merupakan landasan bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di seluruh dunia. Hak-hak anak adalah bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang wajib dilin-dungi, dihormati dan ditegakkan oleh negara baik sebelum maupun sesudah lahir.

Indonesia merupakan negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) tahun 1990. Dengan demikian, Indonesia wajib mengimplementasikan hak-hak anak dalam prog-ram aksi, kebijakan, regulasi hukum yang berpihak dan menjamin terlaksananya hak-hak anak.

Realita bahwa masih banyak anak yang dilanggar dan terbaikan haknya, menjadi korban berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi dan tindakan yang tidak manusiawi menunjukkan masih kurang memadainya perlindungan terhadap anak. Padahal, anak belum cukup mampu melindungi dirinya sendiri. Anak membutuhkan perlindungan memadai dari keluarganya, masyarakat dan pemerintah.

Begitu halnya dengan kondisi perempuan. Banyak praktek kehidupan sosial menempatkan perempuan dalam kondisi subordinasi, terdiskriminasi, termarjinalkan, dilecehkan bahkan menjadi objek tindak kekerasan. Praktek-praktek semacam ini terus berlangsung dalam masyarakat.

B. Visi dan Misi
Visi : Memperjuangkan terciptanya kepentingan terbaik anak
Misi : Advokasi kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
perlindungan anak serta menegakkan hak-hak anak.

C. Program Kerja
1. Penelitian dan pengkajian masalah anak
2. Pendidikan dan pelatihan anak
3. Advokasi litigasi dan non litigasi anak
4. Publikasi dan sosialisasi hak-hak anak
5. Pembangunan dan penguatan jaringan bagi anak
6. Program perlindungan anak pada situasi emergency


D. Unit Layanan
Untuk mencapai sasaran visi dan misi di atas, PKPA membentuk unit-unit yang bertugas merencanakan, melaksanakan, memonitoring dan melaporkan kegiatan yang dilakukan:

1. DATA, MEDIA DAN INFORMASI
Unit Data, Media dan Informasi melakukan kegiatan:
a. Pengumpulan, penyusunan dan penyajian data: data yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan secara langsung dan tidak langsung dengan program di seluruh wilayah kerja dan disusun dalam bentuk database. Data-data yang diperoleh akan sangat berguna untuk melihat keberhasilan dan kegagalan suatu program. Selain bagi lembaga, data tersebut juga dapat diakses pihak berkepentingan baik Pemerintah, NGO local dan internasional, pemerhati anak maupun masyarakat.
b. Penerbitan Media: penerbitan berbagai brosur, leaflet, poster, majalah, buku dan materi bacaan lain yang berisi materi perlindungan anak dan perempuan.
c. Informasi: setiap kegiatan yang dilakukan akan diinformasikan kepada publik melalui konferensi pers, press release di media lokal, nasional dan internasional. Unit ini juga bertugas memberikan informasi seputar program yang telah, sedang dan akan dilaksanakan kepada pihak terkait yang membutuhkan.
d. Dokumentasi: mendokumentasikan setiap data, kegiatan dan berbagai hal yang berkaitan dengan program lembaga secara sistematis. Unit ini juga bertugas untuk menyusun media publikasi dan dokuemntasi yang dibutuhkan oleh stakeholders.


2. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN (LITBANG)
Unit ini bertugas melakukan penelitian dan pengkajian ma-salah anak dari berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, pendidikan, lingkungan dan kesehatan. Monitoring terhadap fenomena sosial di masyarakat dalam konteks implementasi KHA, monitoring masyarakat dampingan dan yang bukan dampingan. Investigasi (primary survey), pengembangan internal staff dan lembaga (capacity staff dan ca-pacity building) dan eksternal (pengembangan program dan target group)


3. UNIT PENDIDIKAN DAN KETERAMPILAN
Unit pendidikan di PKPA melakukan aktifitas yaitu:
a. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bagi anak-anak berusia 03-06 tahun
b. Ruang bermain dan belajar untuk anak di pemukiman warga, lengkap dengan buku bacaan, alat mainan, alat bantu belajar dan perlengkapan sekolah.
c. Pelajaran tambahan mencakup les komputer, les bahasa Inggris, CALISTUNG (cara belajar membaca, menulis dan berhitung) dan pendidikan keagamaan. Kegiatan ini dilakukan secara individual maupun melalui kelompok belajar anak

Dibidang keterampilan PKPA melakukan berbagai pelatihan keterampilan khususnya bagi anak-anak putus sekolah dan anak yang rawan putus sekolah. Selain pelatihan, PKPA juga berupaya mengembangkan unit-unit usaha anak yang telah selesai mengikuti pelatihan. Saat ini telah dibentuk Koperasi Permata Abadi di Kota Jantho yang bergerak dalam usaha jahit dan bordir dan telah menerima berbagai pesanan dalam jumlah bervariasi, seperti jahit-bordir tas, baju seragam, sprei dan pakaian sesuai permintaan. Bagi anak laki-laki di Kota Jantho telah dilakukan pelatihan dan pengembangan usaha sablon.


4. UNIT KESENIAN, OLAHRAGA DAN KEGIATAN ALTERNATIF
Mempromosikan nilai budaya yang dianut masyarakat adalah salah satu cara agar identitas bangsa tetap melekat erat dalam jiwa dan pikiran anak. Berbagai kegiatan seni budaya, olahraga dan kegiatan alternatif bagi anak yaitu:
a. Latihan tari-tarian tradisional dan kontemporer
b. Latihan rapai dan likok
c. Sekolah musik, dengan membentuk group-group musik anak yang berlatih dengan peralatan musik lengkap. Group musik ini menekankan pada musik Aceh dan musik kontemporer
d. Klub sepakbola: bagi anak laki-laki dibentuk untuk menampung minat dan bakat anak dalam sepak bola. PKPA memberikan bantuan dengan pengadaan pelatih sepak bola, seragam, sepatu dan makanan ringan pada setiap latihan.
e. Kegiatan Alternatif: dilakukan secara terjadwal serta didampingi staff PKPA. Anak-anak yang tergabung dalam sekolah musik, klub sepakbola maupun anak dampingan PKPA yang lain senatiasa didorong dan difasilitasi untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pengem-bangan minat, bakat dan prestasi anak

5. UNIT ADVOKASI
Layanan advokasi yang diberikan PKPA dalam bidang advokasi mencakup:
a. Bantuan hukum: PKPA akan memberi bantuan hukum atau pendampingan kepada anak korban kekerasan atau anak yang berhadapan dengan hukum mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan dan sidang pengadilan.
b. Konseling: proses pemulihan, reintegrasi dan rehabilitasi anak yang menjadi korban kekerasan dan anak yang berhadapan dengan hukum.
c. Kesehatan: bantuan layanan kesehatan dasar bagi anak korban maupun sebagai pelaku tindak pidana
d. Advokasi non litigasi: dengan berbagai kegiatan seperti pelaksanaan pelatihan bagi penegak hukum, penerbitan brosur yang berisi kampanye perlindungan anak, pengembangan jaringan antar lembaga perlindungan anak, melakukan public awarness dan pembangunan opini publik, melakukan dialog antar masyarakat, lembaga, pemerintah dan parlemen, menggalang solidaritas, mensosialisasikan produk hukum dan memberi masukan atas hukum yang dibuat lembaga legislatif, ekskutif dan judikatif terutama yang berkaitan dengan anak dan perempuan


7. UNIT KESEHATAN
Unit kesehatan PKPA melakukan berbagai aktifitas yaitu:
a. Layanan kesehatan dasar 24 jam di Balai Pengobatan
b. Mobile klinik ke pemukiman warga
c. Pelayanan penanganan trauma/gawat darurat 24 jam
d. Pemeriksaan dan pemantauan status gizi Balita setiap bulan
e. Pemberian makanan tambahan bagi anak yang mem-butuhkan
f. Pemberian kapsul Vitamin A bagi anak usia 6 bulan – 12 tahun
g. Pemberian obat cacing bagi anak
h. Pemberian bubur bayi, susu balita dan anak, susu ibu hamil dan menyusui, bagi yang membutuhkan
i. Pelayanan khitanan/sirkumsisi
j. Penyuluhan, pencegahan dan promosi kesehatan me-lalui berbagai media dan kegiatan
k. Pendidikan kader kesehatan desa
l. Pendidikan kader kesehatan melalui peer educator di kalangan pelajar SMP dan SMA
m. Pendidikan kesehatan reproduksi, gender, HIV/AIDS dan Narkoba


E. Kerjasama Lembaga
Sejak 17 Januari 2005, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh telah menjalin kerjasama dan mendapat dukungan sejumlah lembaga dan negara donor, yang dilakukan melalui kantor PKPA di Medan atau melalui PKPA Aceh:
1. DEA Germany, emergency response gempa dan tsunami di NAD, (2004-2005)
2. BfDW Germany, program perlindungan anak kor-ban gempa dan tsunami di NAD (2005-2008)
3. GVC Italy-Italian Cooperation, program pendidikan life skliss bagi anak perempuan korban tsunami di Kota Jantho, Aceh Besar (2005-2006)
4. IRD-DRI, program layanan kesehatan dasar bagi IDPs di Kota Jantho (2005-2006)
5. Direct Relief International, program kesehatan di Aceh Besar dan Simeulue (2005-2006)
6. Indonesian-Munchen WV, bantuan alat kesehatan dan pendidikan anak di Jantho (April 2006)
7. Satker Agama Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR NAD-NIAS) untuk kegiatan Konseling bagi IDPs di Kota Jantho (April 2006)
8. Satker PPAK BRR-NAD Nias, penelitian pekerja anak di sektor perikanan di NAD (Oktober-Desember 2006)
9. ILO-IPEC, penelitian dan pendidikan
10. ICS Italia, program kesehatan di Aceh Besar
11. CA UK, program pendidikan dan pelayanan perlindungan anak di Banda Aceh, Aceh Besar


Banda Aceh, 15 April 2007
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh


Sulaiman Zuhdi Manik
Manager Program