Selasa, 25 Maret 2008

KETERLIBATAN ANAK DALAM PENANAMAN DAN PERDAGANGAN GANJA DI ACEH

Oleh : Sulaiman Zuhdi Manik

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh, Mei-Juni 2007, atas dukungan ILO-IPEC melaksanakan Rapid Asessment Keterlibatan Anak dalam Penanaman dan Perdagangan Ganja di Kabupaten Aceh Besar, Aceh.Total sebanyak 90 anak (60 ll dan 30 perempuan), 50 orang tua anak (30 laki-laki dan 20 orang perempuan) dan 30 orang pemangku kepentingan menjadi subjek dan informan dalam penelitian ini melalui wawancara maupun FGD.

Penelitian ini menemukan, ganja pertama kali dibawa ke Aceh dari India, ketika Belanda membuka perkebunan kopi di daerah Gayo (Aceh Tengah) tahun 1904. Saat itu, Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh dengan ibu kota Sigli (Pidie). Tanaman ganja digunakan sebagai anti hama bagi tanaman kopi.

Di lokasi penelitian, ganja mulai ditanam penduduk antara 5-7 tahun yang lalu. Keterlibatan masyarakat menanam ganja terkait dengan kemiskinan, kemiskinan juga dipengaruhi faktor keterisoliran dan keterbelakangan pendidikan penduduk. Dari 90 orang anak yang diwawancarai di dua desa lokasi penelitian, 65 orang menyatakan tidak sekolah, hanya 25 orang yang masih sekolah.

Berbagai alasan dikemukakan dalam fokus group diskusi (FGD) maupun wawancara, seperti karena sekolah jauh, disuruh orang tua bekerja, keinginan anak itu sendiri, maupun akibat ajakan teman, dan di desa lain, faktor anak tidak sekolah karena di desa tersebut tidak tersedia lembaga pendidikan formal. Di salah satu desa, jumlah uang jajan anak sekolah, menjadi persoalan. Terdapat tarif jajan anak sekolah dan ini diamati sudah menjadi tradisi. Seorang ibu mengatakan, keluarga yang mayoritas bertani sulit memenuhi jajan anak. Seorang anak SD harus diberikan uang jajan ke sekolah antara Rp. 1.000-5.000.Anak SMP antara Rp. 3.000-10.000,- Anak SMA antara Rp. 5.000-10.000. Jumlah jajan tersebut bagi umumnya anak menjadi persyaratan agar mau ke sekolah. Jika orang tua tidak memberikan jajan, anak tidak akan ke sekolah.

Orang tua menyadari anaknya ada tidak sampai ke sekolah, mereka hanya pergi dari rumah. Menurut seorang informan, hal ini disebabkan, orang tua sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak dapat mengontrol anak.Orang tua pergi ke ladang pagi hari dan kembali sore atau malam. Walaupun sudah diberikan jajan tapi ada anak yang tidak sampai ke sekolah, mereka justru ke warung. Faktor lain yang ditemukan, kuatnya pengaruh teman sebaya, berdasarkan wawancara dengan anak hal ini berkaitan dengan sekolah atau guru yang cenderung tidak mereka sukai.Di kedua desa anak yang bekerja pada orang lain mendapat upah Rp. 20-50 ribu/hari, tergantung pekerjaannya. Anak-anak yang membantu orang tua tetap mendapat upah Rp. 20 ribu/hari.

Mereka diajak bekerja karena tidak mau sekolah, agar tidak meminta uang jajan kepada orang tua.Di dua desa lokasi penelitian terlibat dalam penanaman dan perdagangan ganja. Anak mempunyai kesempatan yang sama dengan orang dewasa untuk melakukan setiap kegiatan mulai penanaman, perawatan, panen, pengeringan, pembungkusan sampai perdagangan.Dari 90 anak yang diwawancarai, 64 orang (53 laki-laki dan 11 perempuan) mengaku saat ini terlibat dalam penanaman (17 orang ikut memperdagangkan), sisanya 26 anak, mengaku tidak terlibat (tujuh laki-laki dan 19 perempuan) namun mereka mengetahui orang tuanya memiliki ladang.

Dari 64 orang yang terlibat, 54 orang mengatakan bekerja bersama orang tua/keluarga, tujuh orang memiliki ladang sendiri dan tiga orang mengelola bersama teman.Sebanyak 57 dari 64 orang anak yang saat ini terlibat mena nam ganja menyatakan, orang tua mereka tidak melarang atau bahkan mengajak mereka, tujuh anak lain mengatakan orang tuanya bersikap diam, yang dipahami anak sebagai sikap memperbolehkan

Kategori keterlibatan anak dapat dibagi menjadi: (a) anak yang bekerja membantu orang tua/keluarga (mengelola kebun keluarga), dengan mendapat upah harian atau tidak (adakalanya orang tua memberikan setelah hasil panen dijual). (b) anak yang bekerja di kebun orang lain dengan mendapat upah harian. (c) bekerja sendiri (mengolah kebun sendiri), hasilnya sebahagian kecil diserahkan kepada keluarga dan bekerja bersama teman, hasil dibagi rata, dari hasil pembagian ini ada diberikan kepada keluarga.

Faktor pendorong dan penarik keterlibatan anak diantaranya:
1. Kebiasaan masyarakat: di kedua desa, ganja dianggap sudah biasa ditanam dan dijual
2. Putus sekolah: kemiskinan berkorelasi terhadap anak putus sekolah, akibat tidak sekolah mendorong anak ikut bekerja dengan orang tua atau di ladang orang lain
3. Ingin membantu orang tua: karena tidak sekolah orang tua meminta anak membantu orang tua bekerja di lahan sendiri atau lahan orang lain.
4. Ada pekerjaan: diminta orang lain membantu bekerja dengan upah Rp. 20-50 ribu/hari
5. Ingin mendapatkan uang: anak ingin memiliki uang dari hasil kerjanya, dengan bekerja bersama orang tua, mencari upahan di ladang orang lain, menanam ganja sendiri atau bersama teman.
6. Teman: anak yang telah bekerja menanam dan memiliki uang sendiri menjadi penarik maupun pendorong bagi anak yang lain untuk terlibat

Keterlibatan anak-anak dalam penanaman dan perdagngan ganja berdampak kurangnya minat bersekolah karena telah menghasilkan uang. Selain itu, alasan berhenti sekolah juga karena mereka ingin membantu orang tua atau memiliki uang sendiri.Dengan alasan seperti ini keterlibatan anak, selain menjadi faktor menyebab sekaligus menjadi tujuan. Karena bekerja mereka menjadi putus sekolah dan karena putus sekolah mereka lalu bekerja, menghasilkan uang untuk membantu keluarga atau untuk diri sendiri.

Bagi anak-anak di lokasi penelitian, ganja dianggap sudah biasa. Beberapa anak mengatakan ganja tidak haram karena tidak ada najisnya. "Kecuali kalau sudah mengakibatkan mabuk baru berdosa." Bagi mereka menghisap ganja sama dengan menghisap rokok.Larangan menghisap ganja sama dengan larangan merokok, hingga jika seorang anak sudah tidak dilarang orang tuanya merokok berarti dia sudah dapat menghisap ganja.


PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA) ACEH

Tidak ada komentar: