Selasa, 25 Maret 2008

Akses Pendidikan dan Pekerja Anak di Propinsi NAD

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik

Pada awal pembicaraan mengenai kebijakan pekerja anak sering diasumsikan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan anak dianggap membahayakan. Namun tahun 1990 mulai muncul pemahaman, pekerjaan tertentu yang dilakukan anak dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan anak bagi masa depannya. Pekerjaan ringan setelah pulang sekolah, magang, pekerjaan di lahan milik keluarga atau pekerjaan lain yang tidak menghasilkan uang bagi anak tidak dikategorikan sebagai pekerja anak. Istilah pekerja anak diartikan sebagai pekerjaan yang menghalangi anak bersekolah dan pekerjaan yang membahyakan kesehatan, fisik dan mentalnya (Rogers & Swinnerton).

Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, permasalahan pekerja anak sesungguhnya merupakan persoalan yang serius, dilihat dari jumlahnya, lokasi kerjanya, bentuk pekerjaannya, cara kerjanya maupun akibat-akibat yang ditimbulkan dari mereka bekerja.
Berdasarkan data Dinas Sosial Propinsi NAD, tahun 2006 jumlah pekerja anak berusia 10-14 tahun mencapai 19.299 orang. Jumlah tersebut ditambah dengan 736 anak yang diidentifikasi sebagai anak jalanan dan 50.994 sebagai anak terlantar. Sementara data Badan Pusat Statistik NAD tahun 2005, dari 460,896 anak berusia 10-14 tahun 17,279 dikategorikan sebagai pekerja anak.

Penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Agustus-September 2006, di Kota Banda Aceh, periode Agustus-September 2006, diidentifikasi sebanyak 110 orang anak-anak yang bekerja di jalanan dengan berbagai jenis pekerjaan seperti pengemis, pemulung, penyemir sepatu dan pedagang asongan.

Sementara pada penelitian PKPA periode Oktober-Desember 2006 di tujuh kabupaten/kota di Provinsi NAD, ditemukan sekitar 1.000-1.500 anak-anak yang bekerja di sektor perikanan dan 500-750 diantaranya bekerja dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Diantara pekerjaan berbahaya yang dilakukan anak-anak adalah menyelam untuk menangkap lobster, gurita dan tripang, menembak ikan, bekerja di kapal-kapal pukat serta memancing ikan di laut dalam.

Di Kabupaten Simeulue, penelitian PKPA, Oktober-Desember 2006, ditemukan anak-anak yang bekerja baik secara langsung atau tidak langsung pada sektor rekontruksi seperti mengangkat pasir dan batu dari pantai ke lokasi pembangunan, mengangkat kayu dari gunung dengan upah Rp. 2.500,-/batang maupun sebagai buruh bangunan.

Pada penelitian PKPA bekerjasama dengan ILO-IPEC, UNICEF dan Dinas Sosial Propinsi NAD terhadap anak-anak korban konflik di 5 kabupaten di Propinsi NAD (Maret 2007) juga ditemukan adanya kecenderungan anak-anak korban konflik untuk bekerja, karena mereka putus sekolah atau akibat orang tua kurang mampu secara ekonomi. Bahkan anak-anak yang masih sekolah, ditemukan sudah memiliki persepsi tentang dunia kerja yang menghasilkan uang, baik sebagai cara untuk mencapai cita-cita maupun sebagai pilihan ketika mereka terpaksa putus.

Data-data berdasarkan penelitian di atas belumlah menggambarkan realitas jumlah pekerja anak yang sesungguhnya di Propinsi NAD. Diperkirakan masih banyak anak-anak lain yang bekerja baik pada jenis pekerjaan yang diperbolehkan maupun dalam bentuk pekerjaan yang berbahaya dan eksploitatatif, di sektor formal maupun informal.

Faktor Penyebab
Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di atas, ditemukan banyak faktor yang menyebabkan anak terpaksa bekerja.
Kemiskinan ditemukan sebagai salah satu penyebab utama (prime suspect). Bahkan dalam kasus anak-anak jalanan di Banda Aceh, kemiskinan telah menjadi subkultur. Kemiskinan pada awalnya dijadikan orang tua sebagai alasan untuk menyuruh/mengajak anak-anaknya bekerja menghasilkan uang, akan tetapi kemiskinan kemudian dijadikan kambing hitam untuk tetap mempekerjakan anaknya karena dengan kemiskinan yang dikondisikan mereka dapat memperoleh uang dengan cara mudah, dimana jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan bekerja sebagai petani di desa.

Kemiskinan memang masih menjadi persoalan umum. Berdasarkan data Dinas Sosial tahun 2006 masih terdapat 1.898.072 keluarga fakir miskin di Propinsi NAD. Hal ini secara langsung memiliki keterkaitan dengan jumlah pekerja anak. Bagi keluarga miskin, mempekerjakan anak seringkali dijadikan cara untuk menambah penghasilan. Dari lima penelitian yang dilakukan PKPA di NAD, bukan hanya orang tua menginginkan anaknya bekerja untuk menghasilkan uang, anak-anak itu sendiri ditemukan berkeinginan bekerja baik untuk membantu keluarga maupun untuk kebutuhan dirinya sendiri. Keinginan demikian, seringkali ditanggapi orang tua secara kontraproduktif, dengan harapan dapat meringankan beban orang tua.

Kemiskinan, pendidikan dan pekerja anak, dari lima penelitian tersebut, memiliki korelasi sangat kuat. Keterkaitan antara ketiganya seolah-olah sebagai sesuatu yang abadi. Pekerja anak bukan hanya sebagai produk kemiskinan namun sekaligus sebagai unit cost kemiskinan yang menyebabkan anak-anak putus sekolah. Menurut pakar ekonomi, dengan mengirimkan anak memasuki pasar kerja, keluarga miskin tampak tidak mengikuti tingkah laku ekonomi rasional. Mereka hanya memiliki sedikit alternatif. Pilihan antara mempertahankan hidup jangka pendek dan perkembangan anak jangka panjang sangat terbatas. Kemiskinan melahirkan pekerja anak dan mengabadikan kemiskinan, ketidakadilan dan diskriminasi. Dikaitkan dengan teori siklus kemiskinan (cycle of poverty) --dalam ilmu Ekonomi dan Sosiologi, istilah lingkaran kemiskinan merujuk kepada fenomena sosial dimana orang miskin menunjukkan kecenderungan tetap miskin sepanjang hidup bahkan mungkin sampai beberapa generasi.

Dalam satu dokumen ILO-IPEC (2004) disebutkan, kemiskinan akan menggiring pekerja anak ke suatu titik dimana mereka akan melahirkan generasi baru yang sama atau mungkin lebih miskin. Kemiskinan diwariskan dari satu generasi ke generasi dimana pekerja anak merupakan perantara aktif, menyebabkan lingkaran setan kemiskinan tetap lestari, sekaligus menyebabkan kemampuan nasional untuk memerangi kemiskinan secara keseluruhan terus menurun.

Faktor lain, berkaitan dengan tradisi yang banyak dianut masyarakat. Memberikan pekerjaan kepada anak dianggap bagian dari proses belajar untuk menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain melatih dan memperkenalkan kepada dunia kerja anak juga diharapkan dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga (PKPA: 2003). Banyak berpendapat: bagi anak yang telah akil baligh kalau bekerja dan memperoleh uang maka uang tersebut boleh digunakan membiayai ekonomi keluarga. Akan tetapi jika anak belum disunat, anak tidak perlu bekerja karena uang yang dia peroleh haram dimakan orang tuanya.

Dalam pandangan lain, mempekerjakan anak dinilai berfungsi ganda; selain mempersiapkan anak menghadapi kehidupan sesungguhnya, orang tua juga menerima manfaat secara finansial dari anaknya yang bekerja. Apalagi bagi banyak keluarga miskin, jumlah orang yang bekerja belum menjamin kebutuhan pokok keluarga dapat dipenuhi dari penghasilan seluruh orang yang bekerja.

Menyuruh atau mengajak anak bekerja sering dipandang sebagai bagian dari proses pendidikan atau pembentukan jiwa dan kepribadian anak, namun dalam praktiknya, sulit membedakan antara bekerja dalam rangka mendidik anak dan bekerja dimana anak dituntut untuk memberikan sumbangan ekonomi kepada keluarga. Antara pembinaan dan pembentukan jiwa dengan eksploitasi anak secara ekonomi sulit dibedakan. Oscar Lewis mengatakan tingkah laku dan kebudayaan kaum miskin berpengaruh terhadap kemiskinan mereka. Sekali kemiskinan menimpanya maka norma, tingkah laku dan kebudayan kemiskinan yang berkembang dalam kehidupannya akan mengekalkan kemiskinannya. Berbagai sifat dan perilaku dari subkultur kemiskinan seperti malas, apatis, kurang kreatif, kurang mandiri dan lain-lain menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Mereka kurang memiliki kemampuan dan kesempatan meningkatkan taraf kehidupannya.

Pesimis terhadap pendidikan juga ditemukan sebagai penyebab orang tua tidak menyekolahkan anaknya, selanjutnya menyuruh bekerja. Di beberapa desa ditemukan, pendidikan tidak memiliki daya tarik baik bagi anak maupun bagi orang tua, yang dilihat dari proses pendidikan (tidak menyenangkan bagi anak) serta outputnya, yaitu tidak ada perbedaan pekerjaan antara anak yang tidak tamat SD dengan anak tamatan SMA.

Dampak bekerja pada anak
Gootear dan Kanbur (1994) menyatakan secara empirik banyak bukti menunjukkan keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi, di sektor formal maupun informal terlalu dini cenderung rawan eksploitasi, terkadang berbahaya dan mengganggu perkembangan fisik, psikologis dan sosial anak.

Sarjono Herry Warsono mengatakan, bekerja di usia dini dapat merusak pertumbuhan fisik dan
mental karena mengalami siksaan, dikucilkan atau diperlakukan buruk serta tidak ada waktu atau terlalu lelah untuk belajar dan sekolah. Sementara bagi perekonomian negara, kehadiran pekerja anak dapat mengakibatkan kemiskinan, tenaga kerja tidak trampil dan berpendidikan rendah. Anak-anak akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang kurang sehat, kurang dapat bersosialisasi dan secara emosional terganggu.

Meningkatnya jumlah pekerja anak akan memicu hambatan dinamika proses pembangunan SDM di masa depan. Dampaknya sangat besar, utamanya social cost yang diderita pekerja anak dan hilangnya kesempatan untuk memasuki dunia sekolah. Pertambahan jumlah pekerja anak berpengaruh terhadap pasar tenaga kerja, yaitu akan mengurangi kesempatan kerja orang dewasa karena produktifitas pekerja anak ternyata tidak jauh berbeda dengan pekerja dewasa.

Ketentuan mengenai pekerja anak
Konvensi Hak-hak Anak pasal 32 menyatakan: negara-negara peserta mengakui hak anak untuk dilindungi terhadap eksploitasi ekonomi dan terhadap pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan atau merugikan kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak.

Konvensi ILO No. 138 menyatakan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja untuk setiap jenis pekerjaan atau kerja, yang karena sifatnya atau keadaan lingkungan dimana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun.

Sementara Konvensi ILO No. 182 mengkategorikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yaitu: (a) segala bentuk perbudakan atau praktek jenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan penghambat (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata, (b) pamanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno, (c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan dan (d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat dimana pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.

Dalam Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (pasal 68-69) dinyatakan, pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Ketentuan ini dikecualikan bagi anak berumur antara 13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial serta memenuhi persyaratan yaitu izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas dan anak menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku

Meningkatkan akses pendidikan bagi anak
Dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 217 dinyatakan: “penduduk Aceh yang berusia 07-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, menyediakan pendidikan layanan khusus bagi penduduk yang berada di daerah terpencil atau terbelakang, memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial, serta yang memiliki potensi keceradasan dan bakat istimewa.

Kemiskinan seringkali menempatkan pandangan orang tua pada bagaimana anak mampu berkontribusi bagi keluarga, dengan cara menyumbangkan tenaga atau hasil pekerjaannya kepada keluarga maupun ketika si anak tidak meminta uang kepada orang tua. Dengan pola pikir dan cara pandang seperti ini, proses penyadaran akan hak-hak anak terutama hak anak atas pendidikan, bahaya mempekerjakan anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan usia minimal anak diperbolehkan bekerja dengan mengaitkan kepada lingkaran kemiskinan dinilai penting untuk dilakukan, agar orang tua dan anak-anak itu sendiri memahami putus sekolah dan mempekerjakan anak di usia dini sebagai pilihan tidak bijak, karena akan melanggengkan lingkar kemiskinan suatu keluarga.

Pada masyarakat dimana pendidikan tidak memiliki daya tarik bagi anak maupun orang tua, yang dilihat dari proses pendidikan (tidak menyenangkan bagi anak) serta outputnya, yaitu tidak ada perbedaan pekerjaan antara anak yang tidak tamat SD dengan anak tamatan SMA, maka upaya mencegah anak agar tidak putus sekolah atau mengembalikan anak yang telah putus sekolah untuk kembali bersekolah, harus disertai usaha untuk menempatkan lembaga pendidikan dari sekedar sebagai penyelenggara belajar bersifat rutin menjadi lembaga pembelajaran yang menyenangkan bagi anak dan sebagai milik masyarakat.

Sebagai lembaga pembelajaran, sekolah semestinya mengakomodir berbagai kebutuhan pembelajaran anak. Kemiskinan, keterisoliran, adanya anak-anak yang telah putus sekolah dan bekerja, rendahnya dukungan dan partisipasi orang tua, diantara beberapa permasalahan aktual yang seharusnya ditempatkan sebagai keberagaman kebutuhan anak terhadap materi dan metode pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah formal dan non formal. Keberagaman ini diyakini tidak akan terakomodir dalam kelas dan guru reguler, sehingga upaya-upaya meningkatkan kualitas dan keterampilan guru terhadap proses pembelajaran inklusif yang menyenangkan dan berdasarkan kebutuhan anak sangat diperlukan.

Pada tataran lain, ditemukan ada pemisahan peran orang tua dan sekolah dalam pendidikan anak. Orang tua beranggapan, kepergian anak dari rumah dengan pakaian seragam dan uang jajan maka tugasnya menyekolahkan anak telah selesai. Pada pihak lain, sekolah menganggap tugas mereka dimulai ketika si anak menginjakkan kaki di lingkungan sekolah. Anak yang berangkat dari rumah namun tidak sampai ke sekolah tidak jelas siapa yang bertanggungjawab.
Lalu jika output pembelajaran tidak tercapai, orang tua menyalahkan guru; tidak becus mengajar, sementara guru menyalahkan orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anak. Jurang pemisah antara masyarakat dengan lembaga pendidikan seperti ini jelas merugikan anak. Maksimalisasi peran komite sekolah dan rasa kepemilikian masyarakat terhadap sekolah harus ditingkatkan. Harus diciptakan lingkungan desa dan lingkungan sekolah yang mendukung proses pembelajaran anak.

Bagi anak yang tidak mau mengikuti pendidikan formal atau tidak tersedia pendidikan formal di desa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah (paket A, B dan C) didukung kegiatan pravocational training sesuai potensi desa perlu dipertimbangkan untuk dilakukan Pendidikan hendaknya diorientasikan kepada kecakapan hidup yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan kepada pencapaian gelar akademis.


Penulis Manager Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh


Sulaiman Zuhdi Manik
Jl. Bhakti No. 44 Neusu Aceh, Banda Aceh
Tel/Fax. 0651. 28195
e-mail: spkpa@yahoo.com

Tidak ada komentar: